Tampilkan postingan dengan label Epidemiologi. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label Epidemiologi. Tampilkan semua postingan

Minggu, 20 November 2011

Upaya Pencegahan Demam Berdarah (DBD)


Partisipasi Masyarakat

Upaya masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD dapat dilakukan secara individu atau perorangan dengan jalan meniadakan sarang nyamuk dalam rumah. Cara terbaik adalah pemasangan kasa penolak nyamuk. Cara lain yang dapat dilakukan ialah:
-    Menggunakan  mosquito repellent (anti nyamuk oles) dan insektisida dalam bentuk spray
-    Menuangkan air panas pada saat bak mandi berisi air sedikit
-    Memberikan cahaya matahari langsung lebih banyak kedalam rumah (Soedarmo, 2005).

Peningkatan partisipasi masyarakat adalah suatu proses di mana individu, keluarga, dan masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pemberantasan vektor di rumahnya. Peningkatan partisipasi masyarakat menumbuhkan berbagai peluang yang memungkinkan seluruh anggota masyarakat secara aktif berkontribusi dalam pembangunan (Depkes RI, 2005).

Partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut. Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2005)

Peningkatan partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan menunjukkan perhatian dan kepedulian kepada masyarakat, memprakarsai dialog lintas sektoral secara berkelanjutan, menciptakan rasa memiliki terhadap program yang sedang berjalan, penyuluhan kesehatan dan memobilisasi serta membuat suatu mekanisme yang mendukung kegiatan masyarakat (Depkes RI, 2005:).

Partisipasi masyarakat dalam tingkat individu dapat dilakukan dengan mendorong atau menganjurkan dalam kegiatan PSN dan perlindungan diri secara memadai. Pelaksanaan kampanye kebersihan yang intensif dengan berbagai cara merupakan upaya di tingkat masyarakat. Memperkenalkan program pemberantasan DBD pada anak sekolah dan orang tua, mengajak sektor swasta dalam program pemberantasan virus dengue, menggabungkan kegiatan pemberantasan berbagai jenis penyakit yang disebabkan serangga dengan program pemberantasan DBD agar memperoleh hasil yang maksimal. Selain itu peran partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan dengan pemberian insentif seperti pemberian kelambu atau bubuk abate secara gratis bagi yang berperan aktif (Soegijanto, 2006).

Kebijakan Pemerintah

Bila dilihat dari aspek sistem kebijakan dalam peningkatan derajat kesehatan melalui pemberantasan penyakit DBD maka ada tiga elemen, bahkan ada empat elemen yang mencakup hubungan timbal balik dan mempunyai andil di dalam kebijakan karena memang mempengaruhi dan saling dipengaruhi oleh suatu keputusan (Koban, 2005). Adapun elemen tersebut antara lain adalah:
a.  Kebijakan publik (Undang-Undang/Peraturan, Keputusan yang dibuat oleh Badan dan Pejabat Pemerintah).
b.  Pelaku kebijakan (kelompok warga negara, partai politik, agen-agen pemerintah, pemimpin terpilih).
c.  Lingkungan kebijakan (geografi, budaya, politik, struktural sosial dan ekonomi).
d.  Sasaran kebijakan (masyarakat).

Elemen-elemen tersebut secara skematis dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Sejalan dengan teori sistem kebijakan maka keberhasilan program pemberantasan virus  Dengue  sangat didukung dengan pembuatan peraturan perundang-undangan tentang penyakit menular dan wabah. Perundang-undangan ini memberikan wewenang kepada petugas kesehatan untuk mengambil tindakan yang diperlukan saat terjadi wabah atau KLB di masyarakat (Koban, 2005).

Penyusunan undang-undang harus mempertimbangkan komponen penting dalam program pencegahan dan pengawasan virus Dengue dan nyamuk  Aedes aegypti, yaitu mengkaji ulang dan mengevaluasi efektifitas undang-undang, dirumuskan berdasarkan perundang-undangan sanitasi yang telah diatur oleh Departemen Kesehatan, menggabungkan kewenangan daerah sebagai pelaksana, mencerminkan koordinasi lintas sektor, mencakup seluruh aspek sanitasi lingkungan, mencerminkan kerangka administrasi hukum yang ada dalam konteks administrasi secara nasional dan sosialisasi undang-undang kepada masyarakat. Di Indonesia kelompok kerja pemberantasan DBD disebut dengan POKJANAL DBD dan POKJA DBD tingkat Desa/Kelurahan (Koban, 2005).

Diharapkan perilaku masyarakat akan berubah jika ada peraturan dan kepastian hukum (law enforcement) yang mengikat dan mewajibkan setiap anggota masyarakat untuk melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit DBD di lingkungan keluarga dan masyarakat. Apabila dilanggar akan dikenakan sanksi/hukuman yang sesuai dengan peraturan yang berlaku (Koban, 2005). 

Kamis, 17 November 2011

Siklus Hidup Plasmodium


P.falciparum mempunyai 2 siklus hidup, yaitu siklus aseksual yang terjadi di dalam tubuh manusia yang disebut skizogoni dan siklus seksual yang terjadi di tubuh nyamuk yang disebut sporogoni.

Pada siklus aseksual, sporozoit yang terdapat pada kelenjar ludah nyamuk Anopheles betina masuk ke dalam peredaran darah manusia melalui gigitan nyamuk tersebut. Kemudian dalam waktu singkat masuk ke sel-sel parenkim hati dan memulai stadium eksoeritrositik.  Dalam sel hati, parasit tumbuh menjadi skizon dan berkembang menjadi merozoit. Sel hati yang mengandung parasit pecah dan merozoit keluar dengan bebas dan sebagian difagosit, proses ini disebut stadium preeritrositik (eksoeritrositik). Siklus eritrositik dimulai saat merozoit memasuki sel-sel darah merah membentuk tropozoit dan berkembang menjadi skizon muda, kemudian berkembang menjadi skizon matang dan membelah diri menjadi merozoit. Sel darah merah pecah, merozoit, pigmen, dan sisa sel keluar memasuki plasma darah, sebagian masuk dalam sel darah merah lain untuk mengulang siklus skizogoni dan sebagian membentuk gametosit yaitu bentuk seksual yang siap dihisap oleh nyamuk (Nugroho, 2000)

Siklus seksual terjadi dalam tubuh nyamuk  Di dalam tubuh nyamuk terjadi perkawinan antara sel gamet jantan dan betina yang menghasilkan zigot.  Zigot berubah menjadi ookinet, kemudian masuk ke dinding lambung nyamuk berubah menjadi ookista. Ookista matang dan pecah, keluar sporozoit dan masuk ke kelenjar liur nyamuk dan siap ditularkan kepada manusia (Nugroho, 2000).


Selasa, 15 November 2011

Pemberantasan Vektor DBD


Pemberantasan vektor dapat dilakukan terhadap nyamuk dewasa dan jentiknya. Menurut Soedamo (2005) jenis kegiatan pemberantasan nyamuk penularan DBD meliputi:

Pemberantasan Nyamuk Dewasa

Pemberantasan terhadap nyamuk dewasa, dilakukan dengan cara penyemprotan (pengasapan/fogging) dengan insektisida. Hal ini dilakukan mengingat kebiasaan nyamuk yang hinggap pada benda-benda tergantung, karena itu tidak dilakukan penyemprotan di dinding rumah seperti pada pemberantasan nyamuk penular malaria. Insektisida yang dapat digunakan adalah insektisida golongan organophosphat, misalnya malathion, fenitrothion, dan pyretroid, sintetik misalnya lambda sihalotrin dan permetin (Soedamo, 2005).

Penyemprotan insektisida ini dalam waktu singkat dapat membatasi penularan, akan tetapi tindakan ini perlu diikuti dengan pemberantasan jentiknya agar populasi nyamuk penular tetap dapat ditekan serendah-rendahnya. Sehingga apabila ada penderita DBD tidak dapat menular kepada orang lain (Soedamo, 2005).

Pemberantasan Larva (Jentik)

Pemberantasan terhadap jentik  Aedes aegypti yang dikenal dengan istilah Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) dilakukan dengan cara (Depkes RI, 2005):
a.  Kimia, yaitu dengan cara memberantas jentik  Aedes aegypti dengan menggunakan insektisida pembasmi jentik (larvasida). Ini dikenal dengan istilah larvasidasi. Larvasida yang biasa digunakan adalah  temephos. Formulasi temephos yang digunakan adalah  granules (sand granules). Dosis yang digunakan 1 ppm atau 10 gr (± 1 sendok makan rata) untuk setiap 100 liter air. Larvasida dengan temephos ini mempunyai efek residu 3 bulan. Selain itu dapat pula digunakan golonga insect growth regulator.
b.  Biologi, yaitu dengan memelihara ikan pemakan larva yaitu ikan nila merah (Oreochromosis niloticus gambusia sp.), ikan guppy (Poecillia reticulata), dan ikan grass carp (Etenopharyngodonidla). Selain itu dapat digunakan pula Bacillus Thuringiensis var Israeliensis (BTI) atau golongan insect growth regulator.
c.  Fisik, yaitu dengan kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur). Menguras bak mandi, bak WC, menutup tempat penampungan air rumah tangga (tempayan, drum dll), mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban dll). Pengurasan tempat-tempat penampungan air perlu dilakukan secara teratur sekurang-kurangnya seminggu sekali agar nyamuk tidak dapat berkembang biak di tempat itu.

Apabila PSN ini dilaksanakan oleh seluruh masyarakat maka diharapkan nyamuk Aedes aegypti dapat dikurangi sehingga tidak menyebabkan penularan penyakit. Untuk itu diperlukan usaha penyuluhan dan motivasi kepada masyarakat secara terus-menerus dalam jangka waktu lama, karena keberadaan jentik nyamuk tersebut berkaitan erat dengan perilaku masyarakat (Depkes RI, 2005).

Senin, 14 November 2011

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penularan DBD


Lingkungan

Lingkungan merupakan tempat interaksi vektor penular penyakit DBD dengan manusia yang dapat mengakibatkan terjadinya penyakit DBD. Hal-hal yang diperhatikan di lingkungan yang berkaitan dengan vektor penularan DBD antara lain:
a.  Sumber air yang digunakan
Air yang digunakan dan tidak berhubungan langsung dengan tanah merupakan tempat perindukan yang potensial bagi vektor DBD.
b.  Kualitas Tempat Penampungan Air (TPA)
Tempat penampungan air yang berjentik lebih besar kemungkinan terjadinya DBD dibandingkan dengan tempat penampungan air yang tidak berjentik.
c.  Kebersihan lingkungan
Kebersihan lingkungan dari kaleng/ban bekas, tempurung, dan lain-lain juga merupakan faktor terbesar terjadinya DBD (Soegijanto, 2006).

Pengetahuan dan Sikap Masyarakat

Analisis dari Green yang dikutip Notoatmodjo (2007) menyatakan bahwa kesehatan dipengaruhi oleh dua faktor pokok yaitu, faktor perilaku (behaviour causes) dan faktor non perilaku (non behaviour causes). Sedangkan perilaku itu sendiri, khusus perilaku kesehatan dipengaruhi atau ditentukan oleh 3 (tiga) faktor yakni:
a.  Faktor-faktor predisposisi (predisposing factor), yaitu terwujud dalam pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya dari seseorang.
b.  Faktor-faktor pendukung (enabling factor) yang terwujud dalam lingkungan fisik.
c.  Faktor-faktor pendorong (reinforcing factor) yang terwujud dalam sikap dan perilaku petugas kesehatan dan petugas-petugas lainnya termasuk di dalamnya keluarga dan teman sebaya.

Green kemudian berkesimpulan bahwa setiap perilaku kesehatan dapat dilihat sebagai fungsi dari pengaruh kolektif ketiga faktor. Gagasan penyebab kolektif itu penting terutama karena perilaku merupakan suatu fenomena yang majemuk.

Minggu, 13 November 2011

Pengertian, Penyebab, Dan Gejala Komplikasi Hipertensi


PENGERTIAN HIPERTENSI

Hipertensi didefinisikan oleh  Joint National Committee On Detection, Evaluation and Treatment of High Blood Pressure (JNC) sebagai tekanan yang lebih tinggi dari 140/90 mmHg dan diklasifikasikan sesuai derajat keparahannya, mempunyai rentang dari tekanan darah normal tinggi sampai hipertensi maligna. Keadaan ini dikategorikan sebagai primer atau esensial (hampir 90% dari semua kasus) atau sekunder, terjadi sebagai akibat dari kondisi patologi yang dapat dikenali, seringkali dapat diperbaiki (Doenges, 2000).

Tingginya tekanan sistolik berhubungan dengan besarnya curah jantung, sedangkan tingginya tekanan diastolok berhubungan dengan beratnya resistensi perifer. Faktor-faktor yang dapat menimbulkan kenaikan tekanan darah antara lain adalah faktor keturunan, berat badan, konsumsi makanan, aktivitas tubuh dan lain- lain (Budiman, 1999).

Menurut D.G Beevers (2002), hipertensi dapat ditetapkan sebagai tingginya tekanan darah secara menetap dimana tekanan sistolik diatas 140 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg. Pada populasi lansia, hipertensi ditetapkan sebagai tekanan sistolik diatas 160 mmHg dan tekanan diastolik diatas 90 mmHg.

Berdasarkan tingkat tekanan darah menurut  Joint National Committee on Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood Pressure (JNC – VII, Mei 2003)
Kategori
Sistolik (mmHg)
Diastolik (mmHg)
Normal
Prehypertension
Stage I, hypertension
Stage II, hypertension
< 120
120 - 139
140 – 159
> 160
< 80
80 – 89
90 – 99
> 100

PENYEBAB HIPERTENSI

Penyebab hipertensi sekitar 90% tidak diketahui (hipertensi essensial) dan bisa timbul antara usia 20 – 50 tahun. Hipertensi essensial dini diketahui oleh adanya curah jantung yang meningkat, kemudian menetap dan peningkatan tekanan perifer. Salah satu sistem yang berperan dalam pengaturan tekanan darah adalah Renin Angiostensin Aldosterin. Renin dihasilkan oleh ginjal yang akan mengubah angiotensin hati menjadi angiotensin I. Angiotensin I dengan bantuan suatu enzim, angiotensin Converting Enzim (ACE) akan diubah menjadi Angiotensin II, yang mempengaruhi otak sehingga merangsang sistem saraf simpatis. Angiotensin II juga menyebabkan retensi garam natrium dan merangsang sekresi aldosteron, sehingga terjadi kenaikan tekanan darah (Budiman, 1999).

Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi 2 golongan, yaitu hipertensi essensial (hipertensi primer) yang tidak diketahui penyebabnya atau idiopatik dan hipertensi sekunder atau disebut juga hipertensi Renal. Hipertensi essensial meliputi ±90% dari seluruh penderita hipertensi, dan 10% sisanya disebabkan oleh hipertensi sekunder (Soeparman, 2001).

Adapun faktor yang mempengaruhi terjadinya hipertensi primer antara lain: seperti genetik, lingkungan, defek dalam ekresi natrium, dan faktor- faktor yang meningkatkan resiko, seperti obesitas, alkohol, merokok, serta polisitemia. Untuk hipertensi sekunder, penyebab dapat berupa: akibat obat/faktor eksogen, dihubungkan dengan kelainan ginjal, endokrin, aortitis, kehamilan, kelainan syaraf, pembedahan (Soeparman, 2001).

Menurut Prodjosudjadi  Kaplan  (2000) penelitian menunjukkan bahwa faktor yang bertanggung jawab terhadap mekanisme terjadinya hipertensi bukanlah faktor tunggal. Pada beberapa individu, hipertensi dapat terjadi dengan adanya satu faktor lingkungan ditambah faktor predisposisi genetik, sedangkan pada individu yang lain membutuhkan akumulasi dari pengaruh beberapa faktor lingkungan untuk menjadi hipertensi.

Terdapat kecenderungan peningkatan proporsi hipertensi seiiring bertambahnya usia. Tekanan darah sistolik dan diastolik meningkat dengan meningkatnya usia. Pada 70 – 80 % kasus hipertensi didapatkan riwayat keluarganya, walaupun hal ini belum dapat memastikan diagnosa hipertensi essensial. Apabila riwayat hipertensi didapatkan pada kedua orang tuanya, maka dugaan hipertensi essensial lebih besar (Ganong, 1992).
 
GEJALA DAN KOMPLIKASI HIPERTENSI

Peninggian tekanan darah kadang-kadang merupakan satu-satunya gejala, dengan demikian gejala baru muncul setelah terjadi komplikasi pada ginjal, maka otak, atau jantung. Gejala lain yang sering ditemukan adalah sakit kepala, epistaksis, marah, telinga berdengung, sukar tidur, mata berkunang-kunang dan bersin (Mansjoer, 2002).

Pada survey hipertensi di Indonesia tercatat berbagai keluhan yang dihubungkan dengan hipertensi. Pada penelitian Gani dkk di Sumatera Selatan, pusing, cepat marah, dan telinga berdenging merupakan gejala yang sering dijumpai selain gejala lain seperti mimisan, sukar tidur dan sesak nafas. Penemuan ini tidak jauh berbeda dengan laporan Harmaji dkk, yang juga mendapatkan keluhan pusing, rasa berat di tengkuk dan sukar tidur sebagai gejala yang paling sering dijumpai pada pasien hipertensi. Rasa mudah lelah dan cepat marah juga banyak dijumpai, sedang mimisan jarang ditemukan. Sugiri dkk melaporkan bahwa rasa berat ditengkuk, sakit kepala, mata berkunang-kunang dan sukar tidur merupakan gejala yang banyak dijumpai.

Gejala lain yang disebabkan komplikasi hipertensi, antara lain:
1.  Hipertensi ringan dan sedang, komplikasi yang terjadi adalah pada mata, ginjal, jantung dan otak.  Pada mata berupa pendarahan retina, gangguan penglihatan sampai kebutaan.
2.  Hipertensi berat, gagal jantung merupakan kelainan yang sering ditemukan disamping kelainan koroner dan miokard. Pada otak sering terjadi pendarahan yang disebabkan oleh pecahnya mikroaneurisma yang dapat menyebabkan kematian. Kelainan lain yang terjadi adalah proses trombo emboli dan serangan iskemia otak sementera.
3.  Pada hipertensi maligna, gagal ginjal sering dijumpai sebagai komplikasi hipertensi yang lama dan akut. (Soeparman & Waspadji, 2001).

Sabtu, 12 November 2011

Penyakit Bawaan Air


Adanya penyebab penyakit di dalam  air dapat menyebabkan efek langsung terhadap kesehatan. Penyebab penyakit  yang ditularkan melalui air dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian besar (Slamet, 1994), yaitu: 
1.  Penyebab hidup, yang menyebabkan penyakit menular
2.  Penyebab tidak hidup, yang menyebabkan penyakit tidak menular 

Peranan air dalam penularan penyakit adalah : 
a.  Air sebagai penyebar mikroba patogen
b.  Air sebagai sarang insekta penyebaran penyakit
c.  Air sebagai sarang hospes penular penyakit
d.  Air sebagai media bagi pencemaran bahan-bahan kimia

Penyakit menular yang disebarkan melalui air disebut penyakit bawaan air (water borne diseases),  penyakit-penyakit tersebut hanya dapat menyebar apabila mikroorganisme penyebabnya dapat masuk ke dalam sumber air yang dipakai masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Jenis mikroba yang dapat disebarkan melalui air, yaitu virus, bakteri, protozoa dan metazoa.

Agen
Jenis Agen
Penyakit
Virus
Rotavirus
Virus Hepatitis A 
Virus Poliomyelitis  
Diare pad
Hepatitis
Polio
Bakteri
Vibrio cholerae
Escherichia colienteropatogenik 
Salmonella typhi 
Salmonella paratyphi 
Shigella dysentriae 
Cholera 
Diare dysentri 
Typus abdominalis 
Paratyphus 
Dysentri 
Protozoa
Entamoeba histolytica 
Balantidia coli 
Giardia lamblia 
Dysentri amoeba 
Balantidiasis 
Giardiasis
Metazoa
Ascaris lumbricoides 
Clonorchis sinensis 
Dyphylobothrium latum 
Taenia saginata/solium 
Schistosoma 
Ascariasis 
Clonorchisasis 
Dyphylobothriasis 
Taeniasis 
Schistosomiasis