Minggu, 27 November 2011

Penyakit Atrophi Cerebri Senilis

Atropy Cerebri senilis adalah kemunduran / proses penuaan yang terjadi di jaringan otak karena faktor usia.

ini sering terjadi pada orang yang mulai menginjak usia lanjut . hal ini terjadi sebagai sesuatu yang wajar.


untuk itu yang perlu kita lakukan adalah menjaga jaringan yang masih sehat untuk tetap hidup dan eksis .

saran kami untuk kasus seperti ini silahkan konsumsi GAMAT DAN PEGAGAN Masing masing 2x1 rutin selama 2 bulan dan minum madu

sekian semoga bermanfaat

Jumat, 25 November 2011

Tanaman Yang Bermanfaat Untuk Kesuburan Rambut

Lidah buaya

Cara membuat dan memakai
Lidah buaya dicuci hingga bersih kemudian belah dan ambil lendirnya. Gosokkan lendir lidah buaya tadi secara merata di kulit kepala sambil dipijit-pijit. Diamkan selama 15 menit. Setelah itu, cuci rambut dengan shampoo sampai bersih. Ulangi cara ini seminggu tiga kali. Niscaya rambut akan tumbuh subur dan sehat. Lidah buaya mengandung tonik yang berguna untuk menyuburkan dan memberi nutrisi pada akar rambut.

Bonggol pohon pisang.

Cara membuat
Tebang pohon pisang lalu lubangi bonggolnya. Biarkan selama satu malam hingga terkumpul sejumlah air di lubang bonggol tersebut. Gunakan air tersebut untuk keramas sambil dipijat-pijat. Rambut tidak perlu lagi dicuci dengan shampoo, tetapi cukup dibilas dengan air hingga bersih. Lakukan cara tiga kali seminggu.

Produk Herbal untuk menyuburkan rambut :

1. Minyak Penumbuh rambut


2. Kapsul Super Herbafit


3. Minyak Zaitun Le Riche

4. Instan Lidah Buaya

Senin, 21 November 2011

Usaha Kesehatan Sekolah (UKS)


Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) adalah suatu wahana untuk meningkatkan kemampuan hidup sehat dan selanjutnya membentuk perilaku hidup sehat, yang pada gilirannya menghasilkan derajat kesehatan yang optimal (Depkes RI, 1986). Usaha Kesehatan Sekolah (UKS) ini juga  merupakan upaya terpadu lintas program dan lintas sektoral. Apabila ditinjau dari sudut pembangunan di bidang kesehatan, UKS adalah salah satu strategi untuk mencapai kemandirian masyarakat khususnya peserta didik dalam mengatasi masalah kesehatan dan menolong dirinya sendiri di bidang kesehatan yang selanjutnya akan menghasilkan derajat kesehatan yang optimal (Depkes RI, 1995).    

Ruang lingkup UKS tercermin dalam  Tri Program UKS (dikenal dengan istilah TRIAS UKS) diselenggarakan berupa paket program yang meliputi:
a.  Penyelenggaraan Pendidikan Kesehatan,
b.  Penyelenggaraan Pelayanan Kesehatan,
c.  Pembinaan Lingkungan Kehidupan Sekolah Sehat.

Pembinaan dan pengembangan UKS  dilaksanakan secara terpadu, menyeluruh, serta berdaya guna dan berhasil guna, yang melibatkan 4 (empat) Departemen yaitu Departemen Pendidikan Nasional, Departemen Agama, Departemen Kesehatan dan Departemen Dalam Negeri.  Dasar hukum keterpaduan dan penyelenggaraan upaya pembinaan dan pengembangan UKS adalah Keputusan Bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Menteri Kesehatan, Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia: Nomor 1408a/U/1984, Nomor 319/Menkes/SKB/VI/1984, Nomor 74/Th/1984, Nomor 60 Tahun 1984 tentang Pokok Kebijaksanaan Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kesehatan Sekolah dan telah diperbaharui pada tahun 2003 dengan Nomor 1/U/SKB: Nomor  1067/Menkes/SKB/VII/2003, Nomor 26 Tahun 2003 tanggal 23 Juli 2003 tentang Pembinaan dan Pengembangan UKS. Pada tahun 1989 ada juga Surat Keputusan Nomor 0372a/P/1989, Nomor 390a/Menkes/SKB/VI/1989, Nomor 140A/Tahun 1989 dan Nomor 30A Tahun 1989 tentang Tim Pembina UKS yang juga telah diperbaharui pada tahun 2003 (Depdiknas, 2003).

Berdasarkan SKB 4 Menteri tersebut di atas, dibentuklah Tim Pembina UKS baik di tingkat pusat maupun daerah, yang akan melaksanakan pembinaan dan pengembangan UKS di seluruh Indonesia.  Tujuan umum program UKS adalah meningkatkan kemampuan hidup sehat dan derajat kesehatan peserta didik/siswa serta menciptakan lingkungan yang sehat, sehingga memungkinkan pertumbuhan dan perkembangan yang harmonis dan optimal dalam rangka pembentukan manusia Indonesia seutuhnya. Tujuan khusus program UKS adalah memupuk kebiasaan hidup sehat dan mempertinggi derajat kesehatan peserta didik yang di dalamnya mencakup memiliki pengetahuan, sikap, dan ketrampilan untuk melaksanakan prinsip hidup sehat, serta berpartisipasi aktif di dalam usaha peningkatan kesehatan di sekolah dan sekolah agama, di rumah tangga maupun di lingkungan masyarakat (Depkes, 1986).

Minggu, 20 November 2011

Resistensi Terhadap Obat Malaria


Resistensi obat adalah kemampuan sejenis parasit untuk terus hidup dalam tubuh manusia, berkembang biak dan menimbulkan gejala penyakit meskipun telah diberikan pengobatan secara teratur baik dengan dosis standar maupun dosis yang lebih tinggi yang masih bisa ditolerir oleh pemakai obat (Sutisna, 2004).

Ada beberapa teori terjadinya resistensi pada P.falciparum. Pertama karena di dalam tubuh parasit ada gen yang tidak peka dan ada yang sensitif terhadap obat tertentu, gen yang satu dapat menjadi lebih dominan daripada gen yang lain, sehingga menimbulkan adanya strain yang tidak peka dan strain yang sensitif. Teori kedua adalah mutasi gen dapat terjadi dalam tubuh parasit, yang memungkinkan parasit tersebut menjadi tidak peka terhadap suatu obat dengan dosis atau aktivitas tertentu. Mutasi ini timbul karena interaksi antara tingginya angka penularan dengan pengobatan yang terus menerus dalam jangka waktu yang lama, sehingga terjadi seleksi atau mutasi gen pada parasit tersebut (Maryatun, 2004).

Masalah resistensi parasit terhadap obat antimalaria merupakan tantangan besar yang dihadapi dalam upaya pemberantasan malaria. Resistensi obat ini berimplikasi pada penyebaran malaria ke daerah-daerah baru dan munculnya kembali pada daerah yang dulunya telah dieradikasi. Resistensi obat juga mempunyai peranan penting dalam terjadinya epidemi atau Kejadian Luar Biasa (KLB) di Indonesia, yang diperberat dengan adanya perpindahan atau mobilitas penduduk yang besar dengan membawa parasit yang resisten (Tjitra, 2004).

Walaupun upaya penanggulangan malaria sejak lama dilaksanakan namun dalam beberapa tahun terakhir terutama  sejak krisis ekonomi 1997 daerah endemis malaria bertambah luas, bahkan menimbulkan KLB pada daerah-daerah yang telah berhasil menanggulangi malaria. Pada tahun 2003 malaria sudah tersebar di 6.052 desa pada 226 kabupaten di 30 propinsi.  Kondisi ini diperberat dengan semakin luasnya daerah yang resisten terhadap obat antimalaria yang selama ini digunakan yaitu klorokuin bahkan juga sulfadoksin-pirimetamin (Depkes, 2003). Sejak 1997 sampai Mei 2005 telah terjadi KLB malaria di 38 propinsi yang meliputi 47 kabupaten/kota dengan jumlah kasus 32.987 penderita dan 559 kematian akibat malaria.  Case Fatality Rate (CFR) malaria berat yang dilaporkan dari beberapa rumah sakit berkisar 10-15% (Depkes, 2005).

Resistensi P.falciparum terhadap klorokuin pertama kali dilaporkan pada tahun 1960 dari Kolombia (Amerika Selatan) dan Thailand. Saat ini resistensi P.falciparum terhadap klorokuin telah menyebar hampir di seluruh negara di Amerika Tengah serta Selatan, Asia, dan Afrika, tidak terkecuali di Indonesia (Sutisna, 2004).

P.falciparum yang resisten klorokuin pertama kali ditemukan di Indonesia pada tahun 1974 di Propinsi Kalimantan Timur. Selanjutnya dari tahun ke tahun wilayah malaria yang penderitanya resisten terhadap obat antimalaria semakin meluas. Hingga tahun 1996 telah ditemukan resistensi P.falciparum terhadap klorokuin dengan derajat yang berbeda di semua propinsi. P.falciparum yang resisten terhadap sulfadoksin-pirimetamin secara in vivo dan  in vitro juga telah ditemukan antara lain di 11 propinsi di Sumatera,  Jawa, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian Jaya. Suatu perkembangan yang memprihatinkan adalah dijumpainya P.vivax yang resisten terhadap klorokuin antara lain di Irian Jaya, P.Nias, Maluku, dan Flores. P.falciparum yang resisten terhadap kina belum pernah ditemukan secara in vivo (Depkes RI, 2003).

Sebagai respons terhadap terjadinya resistensi P.falciparum terhadap klorokuin dan obat-obat antimalaria lain, maka saat ini berkembang kecenderungan untuk menggunakan obat-obat antimalaria dalam kombinasi yaitu dengan memakai dua jenis atau lebih obat antimalaria yang mempunyai cara kerja farmakologi yang berbeda terhadap parasit malaria untuk mengobati malaria falciparum. Tujuan pemakaian kombinasi obat-obat antimalaria ini selain untuk meningkatkan efek obat-obat bersangkutan secara sinergis dan aditif, juga mencegah timbulnya resistensi P.falciparum secara cepat terhadap setiap obat bila digunakan secara tunggal (Sutisna, 2004). Hal ini diperkirakan karena dengan penggunaan secara kombinasi, peluang untuk menjadi resisten terhadap kedua obat yang dikombinasikan itu semakin kecil yaitu hasil perkalian peluang masing-masing obat itu untuk menjadi resisten bila digunakan secara tunggal. Pada saat ini penggunaan kombinasi derivat artemisinin telah terbukti efektif dalam mengurangi morbiditas dan mortalitas akibat penyakit malaria (WHO, 2006).

Upaya Pencegahan Demam Berdarah (DBD)


Partisipasi Masyarakat

Upaya masyarakat dalam pencegahan penyakit DBD dapat dilakukan secara individu atau perorangan dengan jalan meniadakan sarang nyamuk dalam rumah. Cara terbaik adalah pemasangan kasa penolak nyamuk. Cara lain yang dapat dilakukan ialah:
-    Menggunakan  mosquito repellent (anti nyamuk oles) dan insektisida dalam bentuk spray
-    Menuangkan air panas pada saat bak mandi berisi air sedikit
-    Memberikan cahaya matahari langsung lebih banyak kedalam rumah (Soedarmo, 2005).

Peningkatan partisipasi masyarakat adalah suatu proses di mana individu, keluarga, dan masyarakat dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan pemberantasan vektor di rumahnya. Peningkatan partisipasi masyarakat menumbuhkan berbagai peluang yang memungkinkan seluruh anggota masyarakat secara aktif berkontribusi dalam pembangunan (Depkes RI, 2005).

Partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut. Partisipasi masyarakat di bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan masalah kesehatan mereka sendiri (Notoatmodjo, 2005)

Peningkatan partisipasi masyarakat dapat dilakukan dengan menunjukkan perhatian dan kepedulian kepada masyarakat, memprakarsai dialog lintas sektoral secara berkelanjutan, menciptakan rasa memiliki terhadap program yang sedang berjalan, penyuluhan kesehatan dan memobilisasi serta membuat suatu mekanisme yang mendukung kegiatan masyarakat (Depkes RI, 2005:).

Partisipasi masyarakat dalam tingkat individu dapat dilakukan dengan mendorong atau menganjurkan dalam kegiatan PSN dan perlindungan diri secara memadai. Pelaksanaan kampanye kebersihan yang intensif dengan berbagai cara merupakan upaya di tingkat masyarakat. Memperkenalkan program pemberantasan DBD pada anak sekolah dan orang tua, mengajak sektor swasta dalam program pemberantasan virus dengue, menggabungkan kegiatan pemberantasan berbagai jenis penyakit yang disebabkan serangga dengan program pemberantasan DBD agar memperoleh hasil yang maksimal. Selain itu peran partisipasi masyarakat dapat ditingkatkan dengan pemberian insentif seperti pemberian kelambu atau bubuk abate secara gratis bagi yang berperan aktif (Soegijanto, 2006).

Kebijakan Pemerintah

Bila dilihat dari aspek sistem kebijakan dalam peningkatan derajat kesehatan melalui pemberantasan penyakit DBD maka ada tiga elemen, bahkan ada empat elemen yang mencakup hubungan timbal balik dan mempunyai andil di dalam kebijakan karena memang mempengaruhi dan saling dipengaruhi oleh suatu keputusan (Koban, 2005). Adapun elemen tersebut antara lain adalah:
a.  Kebijakan publik (Undang-Undang/Peraturan, Keputusan yang dibuat oleh Badan dan Pejabat Pemerintah).
b.  Pelaku kebijakan (kelompok warga negara, partai politik, agen-agen pemerintah, pemimpin terpilih).
c.  Lingkungan kebijakan (geografi, budaya, politik, struktural sosial dan ekonomi).
d.  Sasaran kebijakan (masyarakat).

Elemen-elemen tersebut secara skematis dapat dilihat pada gambar di bawah ini:

Sejalan dengan teori sistem kebijakan maka keberhasilan program pemberantasan virus  Dengue  sangat didukung dengan pembuatan peraturan perundang-undangan tentang penyakit menular dan wabah. Perundang-undangan ini memberikan wewenang kepada petugas kesehatan untuk mengambil tindakan yang diperlukan saat terjadi wabah atau KLB di masyarakat (Koban, 2005).

Penyusunan undang-undang harus mempertimbangkan komponen penting dalam program pencegahan dan pengawasan virus Dengue dan nyamuk  Aedes aegypti, yaitu mengkaji ulang dan mengevaluasi efektifitas undang-undang, dirumuskan berdasarkan perundang-undangan sanitasi yang telah diatur oleh Departemen Kesehatan, menggabungkan kewenangan daerah sebagai pelaksana, mencerminkan koordinasi lintas sektor, mencakup seluruh aspek sanitasi lingkungan, mencerminkan kerangka administrasi hukum yang ada dalam konteks administrasi secara nasional dan sosialisasi undang-undang kepada masyarakat. Di Indonesia kelompok kerja pemberantasan DBD disebut dengan POKJANAL DBD dan POKJA DBD tingkat Desa/Kelurahan (Koban, 2005).

Diharapkan perilaku masyarakat akan berubah jika ada peraturan dan kepastian hukum (law enforcement) yang mengikat dan mewajibkan setiap anggota masyarakat untuk melakukan upaya-upaya pencegahan penyakit DBD di lingkungan keluarga dan masyarakat. Apabila dilanggar akan dikenakan sanksi/hukuman yang sesuai dengan peraturan yang berlaku (Koban, 2005). 

Sabtu, 19 November 2011

Tindakan Pemberian Air Susu Ibu (ASI)


Menurut Notoatmodjo (2005) tindakan adalah gerakan/perbuatan dari tubuh setelah mendapatkan rangsangan ataupun adaptasi dari dalam tubuh maupun luar tubuh atau lingkungan. Tindakan seeorang terhadap stimulus  tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut. Secara logis sikap akan dicerminkan dalam bentuk tindakan namun tidak dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis. Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suau tindakan diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai pihak (Notoatmodjo, 2005).

Tindakan terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu (Notoatmodjo, 1993).
a.  Persepsi (perception) diartikan mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
b.  Respon terpimpin (guided response) diartikan sebagai suatu urutan yang benar sesuai dengan contoh.
c.  Mekanisme (mechanism) diartikan apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara optimis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.
d.  Adaptasi (adaptation) suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi keberadaan tindakan tersebut.

Menurut Maas (2004), walaupun pada masyarakat tradisional pemberian ASI bukan merupakan permasalahan yang besar karena pada umumnya ibu memberikan bayinya ASI, namun yang menjadi permasalahan adalah pola pemberian ASI yang tidak sesuai dengan konsep medis sehingga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan dan pertumbuhan  bayi. Di samping pola pemberian yang salah, kualitas ASI juga kurang. Hal ini disebabkan banyaknya pantangan terhadap makanan yang dikonsumsi si ibu baik pada saat hamil maupun sesudah melahirkan. Sebagai contoh, pada masyarakat Kerinci ibu yang sedang menyusui pantang untuk mengkonsumsi bayam, ikan laut atau sayur nangka. Di beberapa daerah ada yang memantangkan ibu yang menyusui untuk memakan telur.

Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan pada bayi yang berbeda, dengan konsepsi kesehatan modern. Sebagai contoh, pemberian ASI menurut konsep kesehatan modern ataupun medis dianjurkan selama 2 (dua) tahun dan pemberian makanan tambahan berupa makanan padat sebaiknya dimulai sesudah bayi berumur 4 tahun. Namun, pada suku Sasak di Lombok, ibu yang baru bersalin selain memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi. Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada usia sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi, pisang dan lain-lain. Ada pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi yang sudah dilumatkan ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir sebelum ASI keluar.

Demikian pula halnya dengan pembuangan kolostrum (ASI yang pertama kali keluar). Di beberapa masyarakat tradisional, kolostrum ini dianggap sebagai susu yang sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan. Selain itu, ada yang menganggap  bahwa kolostrum dapat menyebabkan diare, muntah dan masuk angin pada bayi. Sementara, kolostrum sangat berperan dalam menambah daya kekebalan tubuh bayi (Maas, 2004).

Promosi Kesehatan


Committee on Health Education and Promotion Terminology yang dikutip oleh Mc.Kenzie (2007) mendefinisikan  promosi kesehatan sebagai kombinasi terencana apapun dari mekanisme pendidikan, politik, lingkungan, peraturan, maupun mekanisme organisasi yang mendukung  tindakan dan kondisi kehidupan yang kondusif untuk kesehatan individu, kelompok dan masyarakat. Pada Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan disebutkan bahwa promosi kesehatan adalah upayauntuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.

Dalam melakukan promosi kesehatan tidak terlepas dari perilaku. Perilaku tidak hanya menyangkut dimensi kultural yang berupa sistem nilai dan norma, melainkan juga sistem ekonomi. Sistem nilai dan norma merupakan rambu-rambu bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sistem nilai dan norma ”dibuat” oleh masyarakat untuk  dianut oleh individu-individu anggota masyarakat tersebut. Namun demikian sistem nilai dan norma, sebagai sistem sosial, adalah sesuatu yang dinamis. Artinya, sistem nilai dan norma suatu masyarakat akan berubah mengikuti perubahan-perubahan lingkungan dari masyarakat yang bersangkutan (Depkes RI, 2006).

Hasil Konferensi Internasional ke-4  tentang Promosi kesehatan, yang dikutip oleh Liliweri (2007), menyatakan bahwa prioritas  promosi kesehatah dalam abad 21 adalah: (1). Mempromosikan tanggung jawab sosial bagi kesehatan;  (2). Meningkatkan modal untuk pengembangan kesehatan; (3). Konsolidasi dan perluasan kemitraan untuk kesehatan;  (4).  Meningkatkan kapasitas komonitas memperkuat individu dan; (5). Melindungi keamanan infrastruktur promosi kesehatan.

Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru. Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar promosi kesehatan, yaitu (1) gerakan pemberdayaan, (2) bina suasana, (3) advokasi, yang diperkuat oleh kemitraan serta metode sarana komunikasi yang tepat (Depkes RI, 2006).

Mengacu kepada konteks penelitian ini tentang pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan PHBS masyarakat, maka uraian tentang strategi promosi kesehatan difokuskan kepada pemberdayaan masyarakat.

Jumat, 18 November 2011

Strategi Pemberdayaan dalam Program Pemberdayaan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS)


Upaya untuk pemberdayaan masyarakat dalam peningkatan program PHBS sangat ditentukan peran dari tenaga kesehatan, karena peran tenaga kesehatan sangat pending dalam merubah perilaku masyarakat menuju hidup bersih dan sehat Program promosi PHBS atau promosi higiene merupakan pendekatan terencana untuk mencegah penyakit menular yang lain melaui pengadopsian perubahan perilaku oleh masyarakat luas. Program ini dimulai dengan apa yang diketahui, diinginkan dan dilakukan masyarakat setempat dan mengembangkan program berdasarkan informasi tersebut (Curtis V dkk, 1997; UNICEF dan WHO).

Program promosi PHBS harus dilakukan secara profesional oleh individu dan kelompok yang mempunyai kemampuan dan komitmen terhadap kesehatan masyarakat serta memahami tentang lingkungan dan mampu melaksanakan komunikasi, edukasi dan menyampaikan informasi secara tepat dan benar yang sekarang disebut dengan promosi kesehatan. Tenaga kesehatan masyarakat diharapkan mampu mengambil bagian  dalam promosi PHBS sehingga dapat melakukan perubahan perilaku masyarakat untuk hidup berdasarkan PHBS. Tenaga kesehatan masyarakat telah mempunyai bekal yang cukup untuk dikembangkan dan pada waktunya disumbangkan kepada masyarakat dimana mereka bekerja. Dalam mewujudkan PHBS secara terencana, tepat berdasarkan situasi daerah maka diperlukan pemahaman dan tahapan sebagai berikut:
a.  Memperkenalkan kepada masyarakat  gagasan dan teknik perilaku Program promosi hygiene PHBS, yang merupakan pendekatan terencana untuk mencegah penyakit diare melalui pengadopsian perubahan perilaku oleh masyarakat secara meluas. Program ini dimulai dari apa yang diketahui, diinginkan, dan dilakukan masyarakat. Perencanaan suatu program promosi hygiene untuk masyarakat dilakukan berdasarkan jawaban atau pertanyaan diatas atau bekerjasama dengan pihak yang terlibat, untuk itu diperlukan pesan-pesan sederhana, positif, menarik yang dirancang untuk dikomunikasikan lewat sarana lokal seperti poster, leaflet.
b.  Mengidentifikasikan perubahan perilaku masyarakat, dalam tahap ini akan dilakukan identifikasi perilaku beresiko melalui pengamatan terstruktur. Sehingga dapat ditentukan cara pendekatan baru  terhadap perbaikan hygiene sehingga diharapkan anak-anak terhindar dari lingkungan yang terkontaminasi.
c.  Memotivasi perubahan perilaku masyarakat, langkah-langkah untuk memotivikasi orang untuk mengadopsi perilaku hygiene termasuk
-    Memilih beberapa perubahan perilaku yang diharapkan dapat diterapkan
-    Mencari tahu apa yang dirasakan oleh kelompok sasaran mengenai perilaku tersebut melalui diskusi terfokus, wawancara dan melalui uji coba perilaku
-    Membuat pesan yang tepat sehingga sasaran mau melakukan perubahan perilaku’
-    Menciptakan sebuah pesan sederhana, positif, menarik berdasarkan apa yang disukai kelompok sasaran
-    Merancang paket komunikasi, pada tahap ini telah dapat menentukan perubahan perilaku dan menempatkan  pesan dengan tepat dengan memadukan semua informasi yang telah dikumpulkan.

Sasaran PHBS tidak hanya terbatas  tentang hygiene, namun harus lebih komprehensif dan luas, mencakup perubahan lingkungan fisik, lingkungan biologi dan lingkungan sosial-budaya masyarakat sehingga tercipta lingkungan yang berwawasan kesehatan dan perubahan perilaku hidup bersih dan sehat. Lingkungan fisik seperti sanitasi dan higiene perorangan, keluarga dan masyarakat, tersedianya air bersih, lingkungan perumahan, fasilitas mandi, cuci dan kakus (MCK) dan pembuangan sampah serta limbah. Lingkungan biologi adalah flora dan fauna. Lingkungan sosial-budaya seperti pengetahuan, sikap perilaku dan budaya setempat yang berhubungan dengan PHBS.

Perubahan terhadap lingkungan memerlukan intervensi dari tenaga kesehatan terutama tenaga kesehatan masyarakat yang mempunyai kompetensi sehingga terciptanya lingkungan yang kondusif. Metode yang dapat digunakan dalam memberdayakan masyarakat dalam program PHBS dapat dilakukan dengan mengacu kepada skema berikut: