Menurut Notoatmodjo (2005) tindakan adalah gerakan/perbuatan dari tubuh setelah mendapatkan rangsangan ataupun adaptasi dari dalam tubuh maupun luar tubuh atau lingkungan. Tindakan seeorang terhadap stimulus tertentu akan banyak ditentukan oleh bagaimana kepercayaan dan perasaannya terhadap stimulus tersebut. Secara logis sikap akan dicerminkan dalam bentuk tindakan namun tidak dapat dikatakan bahwa sikap dan tindakan memiliki hubungan yang sistematis. Suatu sikap belum tentu terwujud dalam suatu tindakan (overt behavior). Untuk terwujudnya sikap menjadi suau tindakan diperlukan faktor pendukung atau suatu kondisi yang memungkinkan antara lain fasilitas dan faktor pendukung dari berbagai pihak (Notoatmodjo, 2005).
Tindakan terdiri dari berbagai tingkatan, yaitu (Notoatmodjo, 1993).
a. Persepsi (perception) diartikan mengenal dan memilih berbagai objek sehubungan dengan tindakan yang akan diambil.
b. Respon terpimpin (guided response) diartikan sebagai suatu urutan yang benar sesuai dengan contoh.
c. Mekanisme (mechanism) diartikan apabila seseorang telah dapat melakukan sesuatu dengan benar secara optimis atau sesuatu itu merupakan kebiasaan.
d. Adaptasi (adaptation) suatu praktek atau tindakan yang sudah berkembang dengan baik, artinya tindakan itu sudah dimodifikasi tanpa mengurangi keberadaan tindakan tersebut.
Menurut Maas (2004), walaupun pada masyarakat tradisional pemberian ASI bukan merupakan permasalahan yang besar karena pada umumnya ibu memberikan bayinya ASI, namun yang menjadi permasalahan adalah pola pemberian ASI yang tidak sesuai dengan konsep medis sehingga menimbulkan dampak negatif pada kesehatan dan pertumbuhan bayi. Di samping pola pemberian yang salah, kualitas ASI juga kurang. Hal ini disebabkan banyaknya pantangan terhadap makanan yang dikonsumsi si ibu baik pada saat hamil maupun sesudah melahirkan. Sebagai contoh, pada masyarakat Kerinci ibu yang sedang menyusui pantang untuk mengkonsumsi bayam, ikan laut atau sayur nangka. Di beberapa daerah ada yang memantangkan ibu yang menyusui untuk memakan telur.
Pada beberapa masyarakat tradisional di Indonesia kita bisa melihat konsepsi budaya yang terwujud dalam perilaku berkaitan dengan pola pemberian makan pada bayi yang berbeda, dengan konsepsi kesehatan modern. Sebagai contoh, pemberian ASI menurut konsep kesehatan modern ataupun medis dianjurkan selama 2 (dua) tahun dan pemberian makanan tambahan berupa makanan padat sebaiknya dimulai sesudah bayi berumur 4 tahun. Namun, pada suku Sasak di Lombok, ibu yang baru bersalin selain memberikan nasi pakpak (nasi yang telah dikunyah oleh ibunya lebih dahulu) kepada bayinya agar bayinya tumbuh sehat dan kuat. Mereka percaya bahwa apa yang keluar dari mulut ibu merupakan yang terbaik untuk bayi. Sementara pada masyarakat Kerinci di Sumatera Barat, pada usia sebulan bayi sudah diberi bubur tepung, bubur nasi, pisang dan lain-lain. Ada pula kebiasaan memberi roti, pisang, nasi yang sudah dilumatkan ataupun madu, teh manis kepada bayi baru lahir sebelum ASI keluar.
Demikian pula halnya dengan pembuangan kolostrum (ASI yang pertama kali keluar). Di beberapa masyarakat tradisional, kolostrum ini dianggap sebagai susu yang sudah rusak dan tak baik diberikan pada bayi karena warnanya yang kekuning-kuningan. Selain itu, ada yang menganggap bahwa kolostrum dapat menyebabkan diare, muntah dan masuk angin pada bayi. Sementara, kolostrum sangat berperan dalam menambah daya kekebalan tubuh bayi (Maas, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar